Makalah
ALJABAR LINEAR dan matrik
Disusun Oleh:
Alan Budikusuma (
D1041141071 )
PROGRAM STUDI teknik
informatika
FAKULTAS teknik
UNIVERSITAS tanjungpura
pontianak
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala, karena berkat rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah
yang berjudul “Aljabar Linear Dan Matrik”.
Makalah ini merupakan rangkuman dari buku “Aljabar Linear Elementer” karya
Howard Anton. Makalah ini diajukan guna memenuhi
tugas mata kuliah Aljabar Linear Elementer.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat
untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Pontianak,
02 Juli 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I – PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG............................................................................ 1
1.2 TUJUAN................................................................................................ 1
1.3
METODE PENULISAN......................................................................... 1
BAB II – SISTEM
PERSAMAAN LINEAR DAN MATRIKS
2.1 SISTEM
PERSAMAAN LINEAR......................................................... 2
2.2 ELIMINASI
GAUSS............................................................................. 3
2.3 SISTEM
PERSAMAAN LINEAR HOMOGEN..................................... 6
2.4 MATRIKS DAN
OPERASI MATRIKS................................................. 9
2.5 ATURAN-ATURAN
ILMU HITUNG MATRIKS................................ 11
2.6 MATRIKS
ELEMENTER DAN METODE UNTUK MENCARI A-1..... 17
2.7 HASIL
SELANJUTNYA MENGENAI SISTEM PERSAMAAN DAN KETERBALIKAN 18
BAB III –
DETERMINAN
3.1 FUNGSI
DETERMINAN..................................................................... 20
3.2 MENGHITUNG
DETERMINAN DENGAN REDUKSI BARIS........... 23
3.3 SIFAT-SIFAT
FUNGSI DETERMINAN.............................................. 25
3.4 EKSPANSI
KOFAKTOR; ATURAN CRAMER.................................. 26
BAB IV – VEKTOR-VEKTOR DI RUANG-2 DAN RUANG-3
4.1 VEKTOR
(GEOMETRIK)................................................................... 31
4.2 NORMA VEKTOR;
ILMU HITUNG VEKTOR................................... 34
4.3 HASIL KALI
TITIK; PROYEKSI........................................................ 35
4.4 HASIL KALI
SILANG........................................................................ 39
BAB V – RUANG-RUANG
VEKTOR
5.1 RUANG – n EUCLIDIS....................................................................... 41
5.2 RUANG VEKTOR
UMUM................................................................. 43
5.3 SUB-RUANG ..................................................................................... 44
5.4 KEBEBASAN
LINEAR....................................................................... 46
BAB VI – PENUTUP......................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA
Anton, Howard, Aljabar
Linear Elementer, Jakarta: Erlangga, 1991.
Situs Internet:
www.google.com
www.wikipedia.com
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Banyak orang yang
beranggapan bahwa Matematika itu rumit, karena alasan itulah banyak orang yang
menghindari Matematika. Padahal Matematika dapat kita jumpai di dalam kehidupan
sehari-hari, dan mau tidak mau kita pasti menggunakan Matematika. Oleh karena itu
kami membuat makalah ini dengan maksud membantu pemahaman masyarakat agar
mereka tidak menilai Matematika adalah sesuatu yang buruk.
1.2
TUJUAN
Makalah ini dibuat
dengan tujuan utama untuk memenuhi tugas mata kuliah Aljabar Linear Dan Matrik,
yang diberikan oleh dosen kami Ibu Yulianti, S. Kom,MMsi. Dan tujuan berikutnya
adalah sebagai sumber informasi yang kami harapkan bermanfaat dan dapat
menambah wawasan para pembaca makalah ini.
1.3
METODE PENULISAN
Penulis
menggunakan metode observasi dan kepusatakaan.
Cara yang
digunakan dalam penulisan adalah Studi
pustaka.
Dalam metode ini
penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah ini, selain
itu penulis juga mencari sumber-sumber dari internet.
BAB II
SISTEM PERSAMAAN LINEAR
DAN MATRIKS
2.1 SISTEM PERSAMAAN LINIER
![]() |



SPL
mempunyai m persamaan dan n variable.
Matris yang diperbesar (augmented matrix)

Contoh :



Solusi
( Pemecahan ) SPL, di bagi menjadi 2, yaitu :
1. Konsisten
·
Solusi Tunggal
·
Solusi Banyak
2. Tidak
Konsisten
Contoh : Solusi Tunggal


Contoh : Solusi Banyak
g1
= 2x - 3y = 6
g2
= 2x – 3y =6
m < n
Contoh : Tidak Konsisten

0
= Konstanta
2.2 ELIMINASI
GAUSS
Pada bagian ini kita
akan memberikan prosedur yang sistematik untuk memecahkan sistem-sistem
persamaan linear; prosedur tersebut didasarkan kepada gagasan untuk mereduksi
matriks yang diperbesar menjadi bentuk yang cukup sederhana sehingga sistem
persamaan tersebut dapat dipecahkan dengan memeriksa sistem tersebut.

Matriks di atas
adalah contoh matriks yang dinyatakan dalam bentuk eselon baris terreduksi (reduced
row-echelon form). Supaya berbentuk seperti ini, maka matriks tersebut
harus mempunyai sifat-sifat berikut.
1.
Jika
baris tidak terdiri seluruhnya dari nol, maka bilangan taknol pertama dalam
baris tersebut adalah 1. (Kita namakan 1 utama).
2.
Jika
terdapat baris yang seluruhnya terdiri dari nol, maka semua baris seperti itu
dikelompokkan bersama-sama di bawah matriks.
3.
Dalam
sebarang dua baris yang berurutan yang seluruhnya tidak terdiri dari nol, maka
1 utama dalam baris yang lebih rendah terdapat lebih jauh ke kanan dari 1 utama
dalam baris yang lebih tinggi.
4.
Masing-masing
kolom yang mengandung 1 utama mempunyai nol di tempat lain.
Matriks yang memiliki
sifat-sifar 1,2 dan 3 dapat dikatakan dalam bentuk eselon baris (row-echelon
form).
Berikut ini adalah beberapa
contoh matriks dalam bentuk seselon baris terreduksi.




Matriks-matriks berikut adalah
matriks dalam bentuk eselon baris.



|
Prosedur untuk
meredusi matriks menjadi bentuk eselon baris terreduksi dinamakan eliminasi
Gauss-Jordan, sedangkan untuk mereduksi matriks menjadi bentuk eselon
baris dinamakan eliminasi Gauss.
Contoh
1:
Pecahkanlah dengan menggunakan
eliminasi Gauss-Jordan.
x1 + 3x2 – 2x3 +
2x5 = 0
2x1 + 6x2 – 5x3 – 2x4
+ 4x5 – 3x6 = –1
5x3
+ 10x4 + 15x6 = 5
2x1 + 6x2 + 8x4 +
4x5 + 18x6 = 6
Maka matriks yang diperbesar dari
sistem tersebut adalah

Dengan menambahkan -2 kali baris
pertama pada baris kedua dan keempat maka akan mendapatkan

Dengan mengalikan dengan -1 dan
kemudian menambahkan -5 kali baris kedua kepada baris ketiga dan -4 kali baris
kedua kepada baris keempat maka akan memberikan

Dengan mempertukarkan baris
ketiga dengan baris keempat dan kemudian mengalikan baris ketiga dari matriks
yang dihasilkan dengan 1/6 maka akan memberikan bentuk eselon baris

Dengan menambahkan -3 kali baris
ketiga pada baris kedua dan kemudian menambahkan 2 kali baris kedua dari
matriks yang dihasilkan pada baris pertama maka akan menghasilkan bentuk eselon
baris terreduksi

Sistem persamaan-persamaan yang
bersesuaian adalah
x1 + 3x2 + 4x4 +
2x5 = 0
x3
+ 2x4 = 0
x6
= 

Dengan memecahkannya untuk peubah
peubah utama, maka kita dapatkan
x1
= – 3x2 – 4x4 – 2x5
x3
= – 2x4
x6
= 

Jika kita menetapkan nilai-nilai
sebarang r, s, dan t berurutan untuk
x2, x4, dan x5, maka himpunan pemecahan
tersebut diberikan oleh rumus-rumus
x1 = – 3r – 4s – 2t ,
x2 = r , x3 = – 2s , x4 = s ,
x5 = t , x6
= 

Terkadang lebih mudah
memecahkan sistem persamaan linear dengan menggunakan eliminasi Gauss untuk
mengubah matriks yang diperbesar menjadi ke dalam bentuk eselon baris tanpa
meneruskannya ke bentuk eselon baris terreduksi. Bila hal ini dilakukan, maka
sistem persamaan-persamaan yang bersesuaian dapat dipecahkan dengan sebuah cara
yang dinamakan substitusi balik (back-substitution). Kita akan melukiskan
metode ini dengan menggunakan sistem persamaan-persamaan pada contoh 1.
Dari
perhitungan dalam contoh 1, bentuk eselon baris dari matriks yang diperbesar
tersebut adalah

Untuk
memecahkan sistem persamaan-persamaan yang bersesuaian
x1
+ 3x2 – 2x3 +
2x5 = 0
x3 + 2x4 + 3x6 =
1
x6 = 

|
x1 = – 3x2
+ 2x3 – 2x5
x3 = 1 – 2x4
– 3x6
x6 = 

|
Dengan
mensubstitusikan x6 =
ke dalam persamaan kedua
maka akan menghasilkan

x1 = – 3x2
+ 2x3 – 2x5
x3 = – 2x4
x6 = 

Dengan
mensubstitusikan x3 = – 2x4 ke dalam persamaan pertama
maka akan menghasilkan
x1 = – 3x2 –
4x4 – 2x5
x3 = – 2x4
x6 = 

|
Jika kita menetapkan nilai-nilai
sebarang r, s, dan t berurutan untuk
x2, x4, dan x5, maka himpunan pemecahan
tersebut diberikan oleh rumus-rumus
x1 = – 3r – 4s – 2t ,
x2 = r , x3 = – 2s , x4 = s ,
x5 = t , x6
= 

Ini
sesuai dengan pemecahan yang diperoleh pada contoh 1.
2.3
SISTEM PERSAMAAN LINIER HOMOGEN
Sebuah sistem persamaan-persamaan
linier dikatakan homogen jika semua
suku konstan sama dengan nol; yakni sistem tersebut mempunyai bentuk
a11x1
+ a12x2 +
……+ a1nxn = 0
a21x2
+ a22x2 +
……+ a2nxn = 0
:
: : :
am1x1
+ am2x2 +
……+ amnxn = 0
Tiap-tiap sistem persamaan linier
homogen adalah sistem yang konsisten, karena x1 = 0, x2 =
0,….., xn = 0 selalu merupakan pemecahan. Pemecahan terebut,
dinamakan pemecahan trivial (trivial solution); jika ada pemecahan lain,
maka pemecahan tersebut dinamakan pemecahan taktrivial (nontrivial solution).
Karena sistem persamaan linier
homogen harus konsisten, maka terdapat satu pemecahan atau tak terhingga
banyaknya pemecahan. Karena salah satu di antara pemecahan ini adalah pemecahan
trivial, maka kita dapat membuat pernyataan berikut.
Untuk sistem persamaan-persamaan
linier homogeny, maka persis salah satu di antara pernyataan berikut benar.
1. Sistem
tersebut hanya mempunyai pemecahan trivial.
2.
Sistem tersebut mempunyai tak
terhingga banyaknya pemecahan tak trivial sebagai tambahan terhadap pemecahan
trivial tersebut.
Terdapat satu kasus yang sistem
homogennya dipastikan mempunyai pemecahan tak trivial ; yakni, jika sistem
tersebut melibatkan lebih banyak bilangan tak diketahui dari banyaknya
persamaan. Untuk melihat mengapa hanya demikian, tinjaulah contoh berikut dari
empat persamaan dengan lima bilangan tak diketahui.
Contoh
:
Pecahkanlah sistem
persamaan-persamaan linier homogeny berikut dengan menggunakan eliminasi
Gauss-Jordan.
2X
+ 2X2 – X3 + X5 = 0
-X1
– X2 + 2X3 – X4 + X5 = 0
X1
+ X2 – 2X3 -
5X5 = 0
X3
+ X4 + X5 = 0
Matrix
yang diperbesar untuk sistem tersebut adalah


Dengan
mereduksi matriks ii menjadi bentuk eselon baris tereduksi, maka kita dapatkan

Sistem
persamaan yang bersesuaian adalah
X1
+ X2 + X5 = 0
X3
+ X5 =
0
X4
= 0
Dengan
memecahkannya untuk peubah-peubah utama maka akan menghasilkan
X1
= -X2 – X5
X3
= -X5
X4 = 0
Maka
himpunan pemecahan akan di berikan oleh
X1
= -s – t, X2 = s, X3 = -t , X4 = 0, X5 = t
Perhatikan
bahwa pemecahan trivial kita dapatkan bila s = t = 0.
2.4
MATRIKS
DAN OPERASI MATRIKS
Matriks
Matriks adalah susunan segi empat siku-siku dari
bilangan-bilangan. Bilangan-bilangan dalam susunan tersebut dinamakan entri
dalam matriks.
A
=

Operasi Matriks
1. Penjumlahan
:
Definisi
: jika A dan B
adalah sebarang dua matriks yang ukurannya sama, maka jumlah A + B adalah
matriks yang di peroleh dengan menambahkan bersama-sama entri yang bersesuaian
dalam kedua matriks tersebut. Matriks-matriks yang ukurannya berbeda tidak
dapat di tambahkan.
A =
, B =


A + B =
+
= 



Contoh : A =
, B =
, C =



A + B = 

Sedangkan A + C dan B + C tidak di
definisikan.
2. Perkalian
dengan konstanta
Definisi
: Jka A adalah
suatu matriks dan c adalah scalar, maka hasil kali cA adalah matriks yang
diperoleh dengan mengalikan masing=masing entri dari A oleh c.
c
=


Contoh : A =
, maka 2A = 


3. Perkalian,
dengan syarat Am x n Bn x o = Cm x
o
Definisi
: Jika A adalah
matriks m x r dan B matriks r x n, maka hasil kali AB adalah matriks m x n yang
entri- entrinya ditentukan sebagai berikut. Untuk mencari entri dalam baris I
dan kolom j dari AB, pilihlah baris i dari matriks A dan kolom j dari matriks
B. Kalikanlah entri-entri yang bersesuaian dari baris dan kolom tersebut
bersama-sama dan kemudian tambahkanlah hasil kali yang dihasilkan.
A =
, B = 


AB =
= 


Contoh : A =
, B =


AB =

Transpose
Definisi : Jika A adalah sebarang matriks m x n,
maka Transpos A dinyatakan oleh At dan didefinisikan dengan matriks
n x m yang kolom pertmanya adalah baris pertama dari A, kolom keduanya adalah
baris kedua dari A, demikian juaga dengan kolom ketiga adalah baris ketiga dari
A, dan seterusnya.
A
=
®
At =


Contoh
: A =
®
At =


2.5 ATURAN-ATURAN
ILMU HITUNG MATRIKS
Walaupun banyak dari
aturan-aturan ilmu hitung bilangan riil berlaku juga untuk matriks, namun
terdapat beberapa pengecualian. Salah satu dari pengecualian yang terpenting
terjadi dalam perkalian matriks. Untuk bilangan-bilangan rill a dan b, kita selalu mempunyai ab =
bayang sering dinamakan hukum komutatif untuk perkalian. Akan
tetapi, untuk matriks-matriks, maka AB dan
BA tidak perlu sama.
Contoh
20
Tinjaulah matriks-matriks



Dengan mengalikannya
maka akan memberikan
![]() |
![]() |
Jadi, AB ≠ BA

Sebagai gambaran hukum asosiatif untuk perkalian
matriks, tinjaulah
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
Kemudian
![]() |
![]() |

Sehingga








![]() |
|
|
Bukti.
Jika AX = B adalah sistem persamaan linear,
maka persis satu dari antara berikut akan benar: (a) sistem tersebut tidak
mempunyai pemecahan, (b) sistem tersebut mempunyai persis satu pemecahan, atau
(c) sistem tersebut mempunyai lebih dari satu pemecahan. Bukti tersebut akan
lengkap jika kita dapat memperlihatkan bahwa sistem tersebut mempunyai
takhingga banyaknya pemecahan dalam kasus (c).

Tinjaulah matriks






|
Contoh 24


adalah
invers dari






|
Bukti.
Karena B adalah invers A, maka BA = I. Dengan
mengalikan kedua ruas dari sebelah kanan dengan C maka akan memberikan (BA)C
= IC = I. Tetapi (BA)C = B(AC) = BI =
B, sehingga B = C.
Contoh
26


![]() |
|














Contoh
27



Dengan
menerapkan rumus yang diberikan dalam contoh 25, kita dapatkan
![]() |
![]() |
||||
![]() |
|||||
Maka,
(AB)-1 = B-1A
-1 seperti yang dijamin oleh Teorema
6.
![]() |
|
Teorema
selanjutnya menetapkan beberapa sifat tambahan yang berguna dari eksponen
matriks tersebut.
|
Bukti.
a.
Karena
AA-1 = A-1 A = I, maka
A-1 dapat dibalik dan (A-1)-1 = A.
b.
–
c.
Jika
k adalah sebarang scalar yang taksama
dengan nol, maka hasil (l) dan (m) dari Teorema 2 akan memungkinkan
kita untuk menuliskan
(kA)
= 


Demikian juga
(kA) = I sehingga kA dapat dibalik dan (kA)-1
=
.


Kita simpulkan bagian ini dengan sebuah Teorema yang
menyenaraikan sifat-sifat utama dari operasi transpose.
|
||||
|
2.6
MATRIKS ELEMENTER DAN METODE UNTUK MENCARI A-1
Dibawah ini kita daftarkan matriks elementer dan
operasi-operasi yang menghasilkannya.
(i)
(ii)
(iii)
(iv) 








![]() |
Operasi baris pada I yang
menghasilkan E
|
Operasi baris pada E yang
menghasilkan I
|
Kalikanlah baris I dengan c ≠ 0.
|
Kalikanlah baris I dengan
![]() |
Pertukarkan baris I dan baris j.
|
Pertukarkan baris i dan baris j.
|
Tambahkan c kali baris I ke baris j.
|
Tambahkan – c kali baris i ke baris j.
|
Operasi-operasi d ruas kanan dari tabel ini dinamakan operasi
invers dari operasi-operasi yang bersesuaian di ruas kiri.
![]() |
Bukti. Jika E adalah matriks elementer, maka E dihasilkan dari peragaan operasi baris pada I. Misalnya Eo adalah
matriks yang dihasilkan bila invers operasi ini diterapkan pada I. Baris invers akan saling meniadakan
efek satu sama lain, maka diperoleh
EoE = I dan EEo
= I
Jadi, matriks elementer Eo adalah invers dari E.


Contoh :
A =
A-1
= . . . ?

Jawab :


















I A-1
2.7 HASIL SELANJUTNYA MENGENAI SISTEM PERSAMAN
DAN KETERBALIKAN

AX
= B → X =
→ I . B = B

A .
= B

A . X
= B
X =
A-1 . B
X
. A = B
X
. . . ?
Jawab:
B
. I = B

X
. A = B
X = B . A-1
BAB III
DETERMINAN
3.1 FUNGSI
DETERMINAN
Dalam bagian ini kita
memulai pengkajian fungsi bernilai rill dari sebuah peubah matriks, yakni
fungsi yang mengasosiasikan sebuah bilangan riil
dengan sebuah matriks
. Sebelum kita mampu mendefinisikan fungsi determinan, maka kita
perlu menetapkan beberapa hasil yang menyangkut permutasi.


![]() |
Contoh
:
Ada enam permutasi yang berbeda dari
himpunan bilangan-bilangan bulat
. Permutasi-permutasi ini adalah

(1, 2, 3) (2,
1, 3) (3, 1, 2)
(1, 3, 2) (2,
3, 1) (3, 2, 1)
Salah satu metode yang
mudah secara sistematis mendaftarkan permutasi-permutasi adalah dengan
menggunakan pohon permutasi (permutation tree).
Contoh
:





Untuk menyatakan
permutasi umum dari himpunan
, maka kita akan menuliskan
. Disini,
adalah bilangan bulat
pertama dalam permutasian,
adalah bilangan bulat
kedua, dan seterusnya. Sebuah invers (inversion) dikatakan terjadi
dalam permutasi
jika sebuah bilangan
bulat yang lebih besar mendahului sebuah bilangan bulat yang lebih kecil.
Jumlah invers seluruhnya yang terjadi dalam permutasi dapat diperoleh sebagai
berikut:





1)
Carilah
banyaknya bilangan bulat yang lebih kecil dari
dan yang membawa
dalam mutasi tersebut.


2)
Carilah
banyaknya bilangan bulat yang lebih kecil dari
dan yang membawa
dalam mutasi tersebut.


Teruskanlah proses
penghitungan ini untuk
. Jumlah bilangan-bilangan ini akan sama dengan jumlah invers
seluruhnya dalam permutasi tersebut.

Contoh
:
Tentukanlah banyaknya invers dalam
permutasi-permutasi berikut
a)
(3,
4, 1, 5, 2)
b)
(4,
2, 5, 3, 1)
Jawab:
a)
Banyaknya
invers adalah 2 + 2 + 0 + 1 = 5
b)
Banyaknya
invers adalah 3 + 1 + 2 + 1 = 7
![]() |
Contoh :
Tabel berikut mengklasifikasikan berbagai
permutasi dari
sebagai genap atau
ganjil.

Permutasi
|
Banyaknya Invers
|
Klasifikasi
|
(1, 2, 3)
|
0
|
Genap
|
(1, 3, 2)
|
1
|
Ganjil
|
(2, 1, 3)
|
1
|
Ganjil
|
(2, 3, 1)
|
2
|
Genap
|
(3, 1, 2)
|
2
|
Genap
|
(3, 2, 1)
|
3
|
Ganjil
|
Fungsi Determinan
Definisi : misalkan A adalah matriks
kuadrat. Fungsi determinan dinyatakan oleh det, dan kita definiskan det(A)
sebagai jumlah semua hasil kali elementer bertanda dari A jumlah det(A) kita
namakan determinan A.
Contoh 5
det
= 


det
= 



Caranya
sebagai berikut :
![]() |





Dengan
mengalikan entri-entri pada panah yang mengarah ke kanan dan mengurangkan hasil
kali entri-entri pada panah yang mengarah ke kiri.
Contoh
6
Hitunglah
determinan-determinan dari :
A.
=


B.
=

Dengan menggunakan cara dari
contoh 5 maka :
det(A) = (3)(-2) – (1)(4) = -10
dengan mnggunakan cara dari
contoh 5 maka :
det(A) = (45) + (84) + (96) –
(105) – (-48) – (-72) = 240
*Perhatian bahwa metode/cara yang digunakan pada contoh 5 dan 6
tidak berlaku determinan matriks 4 x 4 atau untuk matriks yang lebih
tinggi.

Matriks kuadrat kita
namakan segitiga atas (upper triangular) jika semua entri di bawah
diagonal utama adalah nol. Begitu juga matriks kuadrat kita namakan segitiga
bawah (lower triangular), jika semua entri di atas diagonal utama
adalah nol. Sebuah matriks baik yang merupakan segitiga atas maupun segitiga
bawah kita namakan segitiga (triangular).
Contoh:
Sebuah matriks segitiga atas 4
4 yang umum mempunyai
bentuk


Sebuah
matriks segitiga bawah 4
4 yang umum mempunyai
bentuk


![]() |
Contoh:


Contoh :
|





=
4 . (-2)
=
-8

|




=
- (-2)
=
2
|




=
-2
Contoh
:


Det (A) = 

Kita
tidak memerlukan reduksi selanjutnya karena dari Teorema 1 kita peroleh bahwa
det (A) = 0. Dari contoh ini seharusnya sudah jelas bahwa bila matriks kuadrat
mempunyai dua baris yang terdiri dari bilangan nol dengan menambahkan kelipatan
yang sesuai dari salah satu baris ini pada baris yang satu lagi. Jadi, jika
matriks kuadrat mempunyai dua baris yang sebanding, maka determinannya sama
dengan nol.
Contoh
:

3.3
SIFAT-SIFAT FUNGSI DETEREMINAN
|
Pernyataan. Karena
hasil ini, maka hampir tiap-tiap teorema mengenai determinan yang mengandung
perkataan baris dalam pernyataannya akan benar juga bila perkataan “kolom”
disubstitusikan untuk “baris”. Untuk membuktikan pernyataan kolom, kita hanya
perlu mentranspos (memindahkan) matriks yang di tinjau untuk mengubah pernyataan
kolom tersebut pada pernyataan baris, dan kemudian menerapkan hasil yang
bersesuaian yang sudah kita ketahui untuk baris.
Contoh
Hitunglah
determinan dari
A = 

Determinan ini dapat di hitung seperti
sebelumunya dengan menggunakan operasi baris elementer untuk mereduksi A pada
bentuk eelon baris. Sebaliknya, kita dapat menaruh A pada bentuk segitiga bawah
dalam satu langkah dengan menambahkan -3 kali kolom pertama pada kolom keempat
untuk mendapatkan
Det (A) = det
=(1)(7)(3)(-26)= -546

Contoh
ini menunjukkan bahwa selalu merupakan hal yang bijaksana untuk memperhatikan
operasi kolom yang tepat yang akan meringkaskan perhitungan tersebut.
Misalkan
A dan B adalah matriks-matriks n x n dan
k adalah sebarang skalar. Kita karang
meninjau hubungan yang mungkin di antara det(A), det(B), dan
det(kA),
det(A + B), dan det(AB)
karena
sebuah faktor bersama dari sebarang baris matriks dapat dipindahkan melalui
tanda det, dan karena setiap baris n
baris dalam kA mempunyai factor
bersama sebesr k, maka kita dapatkan
det(kA)
= kn det(A)
|
Contoh
Dengan
menghitung determinan, anda dapat memeriksa bahwa
det
=
+ 



|
Contoh
Tinjaulah
matriks-matriks



Kita peroleh det(A) det(B) = (1) (-23) =
-23. Sebaliknya dengan perhitungan langsung maka det(AB) = -23, sehingga
det(AB) = det(A) det(B).
|
Contoh
Karena
baris pertama dan baris ketiga dari

Sebanding,
maka det(A) = 0, jadi A tidak dapat dibalik
3.4 EKSPANSI
KOFAKTOR; ATURAN CRAMER
Pada bagian ini kita
meninjau sebuah metode untuk mengitung determinan yang berguna untuk
perhitungan yang menggunakan tangan dan secara teoritis penting penggunaannya.
Sebagai konsekuensi dari kerja kita di sini, kita akan mendapatkan rumus untuk
invers dari matriks yang dapat dibalik dan juga akan mendapatkan rumus untuk
pemecahan sistem-sistem persamaan linear tertentu yang dinyatakan dalam
determinan.
|
Contoh
:
Misalkan

Minor entri a11 adalah

Kofaktor a11 adalah
C11 = (-1)1 + 1 M11 = M11 = 16
Demikian juga, minor entri a32 adalah

Kofaktor a32 adalah
C32 = (-1)3 + 2 M32 = M32 = – 26
Perhatikan bahwa kofaktor dan
minor elemen aij hanya
berbeda dalam tandanya, yakni, Cij
= ± Mij. Cara cepat untuk
menentukan apakah penggunaan tanda + atau tanda – merupakan kenyataan bahwa
penggunaan tanda yang menghubungkan Cij
dan Mij berada dalam baris
ke i dan kolom ke j dari susunan

Misalnya, C11 = M11,
C21 = – M21, C12 = – M12, C22
= M22, dan seterusnya.
Tinjaulah matriks 3 x 3 umum


dapat kita tuliskan kembali
menjadi

Karena pernyataan-pernyataan
dalam kurung tidak lain adalah kofaktor-kofaktor C11, C21
dan C31, maka kita peroleh

Persamaan di atas memperlihatkan
bahwa determinan A dapat dihitung
dengan mengalikan entri-entri pada kolom pertama A dengan kofaktor-kofaktornya dan menambahkan hasil kalinya. Metode
menghitung det(A) ini dinamakan ekspansi
kofaktor sepanjang kolom pertama A.
Contoh :
Misalkan

Hitunglah det(A) dengan metode ekspansi kofaktor sepanjang kolom pertama A.
Pemecahan.








Perhatikan bahwa dalam setiap persamaan
semua entri dan kofaktor berasal dari baris atau kolom yang sama. Persamaan ini
dinamakan ekspansi-ekspansi kofaktor det(A).
Hasil-hasil yang baru saja kita berikan
untuk matriks 3 x 3 membentuk kasus khusus dari teorema umum berikut, yang kita
nyatakan tanpa memberikan buktinya.
|
Maka, ekspansi kofaktor sepanjang kolom ke j

dan
ekspansi
kofaktor sepanjang baris ke i

Jika
matriks A adalah sebarang matriks n x n dan Cij adalah kofaktor aij,
maka matriks

Dinamakan
matriks
kofaktor A. Transpos matriks ini dinamakan adjoin A dan dinyatakan
dengan adj(A).
|
||
|
BAB
IV
VEKTOR-VEKTOR
DI RUANG-2 DAN RUANG-3
4.1
VEKTOR
(GEOMETRIK)

A adalah titik awal (intial point)
B adalah titik terminal (terminal point)
·
Vektor Ekivalen

u ekivalen v
Apabila
arah dan panjangnya sama.
Jadi
u = v
·
Penjumlahan Vektor

v + w = w + v
·
Vektor Nol
0
+
v = v + 0 = v
·
Vektor Negatif

v + (-v) = 0
·
Pengurangan Vektor
v – w = v + (-w)

·
Komponen vektor di Ruang-2
u = (u1,
u2)
v = (v1,
v2)
·
Komponen vektor di Ruang-3
u = (u1,
u2, u3)
v = (v1,
v2, v3)
·
Penjumlahan

=
(u1 + v1, u2 + v2)

Contoh:
Jika v = (1, -2) dan w = (7,
6) maka v + w = ?
Jawab:
v + w =
(1, -2) + (7, 6)
=
(1 + 7, -2 + 6)
=
(8, 4)
·
Pengurangan

=
(u1 – v1, u2 – v2)

Contoh:
Jika u = (7, 6) dan v = (3,
2), maka u – v = ?
Jawab:
u – v =
(7, 6) – (3, 2)
=
(7 – 3, 6 – 2)
=
(4, 4)
·
Gambar titik P (-2, 3, 4)

4.2 NORMA
VEKTOR;
ILMU HITUNG
VEKTOR
![]() |
Panjang
sebuah vector v sering dinamakan norma v dan dinyatakan dengan
. Jelaslah dari teorema phytagoras bahwa norma vector v = (v1,
v2) di ruang-2 adalah


Misalkan
v = (v1, v2, v3) adalah vector ruang-3. Dengan
menggunakan gambar 3.16 dan dua penerapan phytagoras, maka kita dapatkan





|
Jika
dan
adalah dua titik di ruang-3, maka jarak d diantara
kedua titik tersebut adalah norma vector P1P2 , karena



Maka jelas bahwa

4.3 HASIL
KALI TITIK; PROYEKSI
Pada bagian ini kita
perkenalkan semacam perkalian vektor di ruang-2 dan ruang-3. Sifat-sifat ilmu
hitung perkalian ini akan ditentukan dan beberapa penerapannya akan diberikan.
Misalnya u dan v adalah dua vektor taknol di ruang-2 dan ruang-3,dan anggaplah
vektor-vektor ini telah dilokasikan sehingga titik awalnya berimpit. Yang kita
artikan dengan sudut di antara u dan v,
dengan sudut θ yang ditentukan oleh u dan v yang memenuhi 0 ≤ θ ≤ π
![]() |
||||||||
![]() |
||||||||
![]() |
||||||||
|


Karena
= v – u, maka dapat kita
tuliskan kembali sebagai


atau

Dengan
mensubstitusikan


dan

Maka setelah menyederhanakannya akan kita
dapatkan

Jika u
= (u1, u2) dan v = (v1, v2) adalah dua vektor di ruang-2, maka
rumus yang bersesuaian adalah

Jika u dan v adalah vektor
taknol, maka rumus di atas dapat kita tulis

Teorema
berikut ini memperlihatkan bagaimana hasil kali titik dapat digunakan untuk
mendapatkan informasi mengenai sudut diantara dua vektor; teorema ini juga
menghasilkan hubungan penting di antara norma dan hasil kali titik.
|
Vektor tegaklurus
disebut juga vektor ortogonal. Pada teorema di atas, dua vektor taknol adalah
tegaklurus jika dan hanya jika hasil kali titiknya adalah nol. Jika kita
sepakat menganggap u dan v agar tegaklurus maka salah satu atau
kedua vektor ini haruslah 0, karenanya kita dapat menyatakan tanpa kecuali
bahwa baik vektor u maupun v akan ortogonal jika dan hanya jika u • v = 0.
|
Jika u dan a ditempatkan sedemikian rupa maka titik awalnya akan menempati
titik Q, kita dapat menguraikan
vektor u sebagai berikut.
![]() |
|||||
![]() |
![]() |
||||
Turunkanlah garis
tegaklurus dari atas u ke garis yang
melalui a, dan bentuklah vektor w1 dari Q ke alas garis yang tegaklurus tersebut. Bentuk selanjutnya akan
menjadi
w2 = u – w1
Sebagaimana ditunjukkan
pada gambar di atas, vektor w1
sejajar dengan a, vektor w2 tegaklurus dengan a, dan
w1 + w2 = w1 + (u – w1) = u
Vektor w1 tersebut kita namakan proyeksi
ortogonal u pada
a atau kadang-kadang kita namakan komponen
vektor u sepanjang
a. Hal ini kita nyatakan dengan
proyau
Vektor w2 kita namakan komponen
vektor u yang
ortogonal terhadap a. Karena
w2 = u – w1 maka
vektor ini dapat kita tulis sebagai
w2 = u – proyau
|
Bukti
:
Misalkan w1 = proyau dan w2 = u – proyau.
Karena w1 sejajar dengan a, maka kita harus mengalikan skalar a, sehingga kita dapat menuliskan dalam
bentuk w1 = ka.
Jadi
u = w1
+ w2 = ka
+ w2
Dengan mengambil hasil
kali titik dari kedua sisi dengan a
maupun dengan menggunakan teorema 2 dan 3 akan menghasilkan

Namun
karena w2 tegaklurus kepada a, sehingga persamaan di atas menjadi


Karena proyau = w1
= ka, kita dapatkan

Sebuah rumus untuk
panjang komponen vektor u sepanjang a dapat kita peroleh dengan menuliskan


=
(karena
adalah sebuah skalar)


=
(karena
> 0)


menghasilkan

Jika θ menyatakan sudut antara u dan a,
maka
, sehingga dengan demikian rumus di atas dapat juga kita
tuliskan menjadi


Kemudian
rumus untuk menghitung jarak antara titik dan garis adalah

4.4 HASIL
KALI SILANG
Definisi
: jika u =
dan v =
adalah vector di ruang-3,
maka hasil kai silang u x v adalah vector yang didefinisikan oleh


u x v = 

atau
dalam notasi determinan
u x v = 

Terdapat
pola pada rumus di atas yang berguna untuk diingat. Jika di bentuk matriks 2 x
3.

Di
mana entri baris pertama adalah komponen factor pertama u dan entri baris kedua
adalah komponen factor v, maka determinan dalam komponen pertama u x v
didapatkan dengan mencoret kolom pertama matriks tersebut, determinan dalam
komponen kedua kita dapatkan dengan mencoret kolom kedua dari matriks tersebut,
sedangkan determinan dalam komponen ketiga kita dapatkan dengan mencoret kolom
ketiga dari matriks tersebut.
Contoh
1
Carilah
u x v, di mana u = (1, 2, -2) dan v = (3, 0, 1)
Jawab


u x v = 

= (2, -7, 6)
|
|||
|
Misalkan
:
Tinjaulah
vector-vektor : i = (1, 0, 0), j = (0, 1, 0), k = (0, 0, 1)
Setiap
vector v = (v1, v2, v3) di ruang ke-3 dapat di
ungkapkan dengan i, j, dan k, karenanya kita dapat menuliskan
v = (v1, v2, v3)
= v1(1, 0, 0) + v2(0, 1, 0) + v3(0, 0, 1) = v1i
+ v2j + v3k

dan
dari gambar ini di dapat :
i
x j =
= (0, 0, 1) = k

jika
u dan v adalah vector-vektor taknol di ruang-3, maka norma u x v mempunyai
tafsiran geometric yang berguna.
Identitas Lagrange, yang diberikan dalam teorema 5, menyatakan bahwa :
ll u x v ll2 = ll u ll2
ll v ll2 – u . v
jika
q menyatakan sudut di antara u dan v, maka u . v = ll u ll ll v ll cos q,
sehingga dapat kita tuliskan kembali :
ll u x v ll2 = ll u ll2
ll v ll2 – ll u ll2 ll v ll2 cos2 q
= ll u ll2 ll v ll2 (1
– cos2 q)
= ll u ll2 ll v ll2
sin
BAB V
RUANG – RUANG VECTOR
5.1
RUANG-N EUCLIDIS
Definisi
: jika n adalah
sebuah bilangan bulat positif, maka tupel-n-terorde (ordered-n-tupel) adalah
sebuah urutan n bilangan riil (a1,a2,………,an).
himpunan semua tupe-n-terorde dinamakan ruang-n dan dinyatakan dengan Rn
.
Bila n=2 atau
3, maka kita biasanya menggunakan istilah pasangan terorde dan tripel terorde
dan bukannya tupelo-2-terorde dan tupelo-3-terorde. Bila n=1, setiap
tupel-n-terorde terdiri dari satu bilangan riil, sehingga R1 dapat
ditinjau sebagai himpunan bilangan riil. Kita biasanya menuliskan R dan
bukannya R1 untuk himpunan ini.
Definisi dua vector u = (u1,u2,…..,un)
dan v = (v1,v2,….,vn)pada Rn
dinamakan sama jika
U1 = v1, u2
= v2, …..,un = vn
Jumlah u + vdidefinisikan oleh
u + v = (u1 + v1,
u2 + v2,….,un + vn)
dan jika k adalah sebarang
scalar, maka perkalian scalar ku didefinisikan oleh
ku = (ku1, ku2,…..kun)
Teorema
1. Jika u = (u1,u2,…..,un)
, v = (v1,v2,….,vn) dan w = (w1, w2,…..,wn)
adalah vector-vektor pada Rn dan k serta l adalah scalar, maka :
a)
U
+ v = v + u
b)
U
+ (v + w) = (u + v) + w
c)
U
+ 0 = 0 + u = u
d)
U
+ (-u) = 0, yakni u – u = 0
e)
K
(lu) = (kl) u
f)
K(u
+ v) = ku + kv
g)
(k
+ l)u = ku + lu
h)
1u
= u
Definisi. Jika u = (u1,u2,…..,un) dan v = (v1,v2,….,vn)
adalah sebarang vector pada Rn, maka hasil kali dalam euclidis
(Euclidean inner product) u . v kita definisikan dengan
u.v = u1 v1
+ u 2v2 + ….. + un vn
Contoh
Hasil kali dalam euclidis dari
vector-vektor itu adalah
u = (-1, 3, 5, 7) dan v = (5, -4,
7, 0)
Sedangkan R4 adalah
u.v = (-1)(5) + (3)(-4) + (7)(0) = 18
Teorema
2. Jika u, v, dan w adalah vector pada Rn
dan k adalah sebarang scalar, maka :
a)
u
. v = v . u
b)
(u
+ v) . w = u . w + v . w
c)
(ku)
. v = k(u + v
d)
v
. v ≥ 0. Selanjutnya, v . v = 0 jika dan hanya jika v = 0
Contoh
Teorema 2 membolehkan kita melakukan perhitungan
dengan hasil kali dalm euclidis yang sangat merip dengan cara kita melakukan
perhitungan hasil kali ilmu hitung biasa.
Misalnya,
(3u
+ 2v) . (4u + v) = (3u) . (4u + v) + (2v) . (4u + v)
= (3u) . (4u) + (3u) . v + (2v) .
(4u) + (2v) . v
= 12(u . v) +
3(u . v) + 8(v . u) + 2(v . v)
= 12(u . u) +
11(u . v) 2(v . v)
Berdasarkan analogi dengan
rumus-rumus yang sudah kita kenal baik R2maupun R3, kita
definisikan norma euclidis (atau panjang euclidis) vector u = (u1,u2,…..,un)
pada Rn menurut

Demikian juga jarak euclidis diantara
titik u = (u1,u2,…..,un)
dan titik v = (v1,v2,….,vn) pada Rn
didefinisikan oleh

Contoh
3
Jika u = (1, 3, -2, 7) dan v =
(0, 7, 2, 2) maka,

Dan d(u,v) = 

Bagi vector pada notasi vertical, kita
punyai rumus matriks
vtu = u . v
untuk hasil kali dalam euclidis. Misalnya
jika

Maka,

5.2 RUANG
VEKTOR UMUM
Definisi. Misalkan V sebarang himpunan
benda yang dua operasinya kita definisikan, yakni penambahan dan perkalian
dengan scalar (bilangan riil). Penambahan tersebut kita pahami untuk
mengasosiasikan sebuah aturan dengan setiap pasang benda u dan v dalam V, yang
mengandung elemen u + v, yang kita namakan jumlah u dan v; dengan perkalian
scalar kita artikan aturan untuk mengasosiasikannya baik untuk setiap scalar k
maupun setiap benda u pada V yang mengandung elemen ku, yang dinamakan
perkalian scalar (scalar multiple) u oleh k. jika aksioma-aksioma berikut
dipenuhi oleh semua benda u, v, w pada V dan oleh semua scalar k dan l, maka
kita namakan V sebuah ruang vector (vector space) dan benda – benda pada V kita
namakan vector :
1)
jika
u dan v adalah benda – benda pada V, maka u + v berada di V
2)
u
+ v = v + u
3)
u
+ (v + w) = (u + v) + w
4)
ada
sebuah benda 0 di V sehingga 0 + u = u + 0 = u untuk semua u di V
5)
untuk
setiap u di V, ada sebuah benda – u di V yang kita namakan negative u sehingga
u + (- u ) = (-u)+u = 0
6)
jika
k adalah sebarang scalar dan u adalah sebarang benda di V, maka ku berada di V
7)
K(u
+ v) = ku + kv
8)
(k
+ l)u = ku + lu
9)
K
(lu) = (kl) u
10) 1u = u
Teorema 3. Misalkan V adalah sebuah ruang
vector, u sebuah vector pada V, dan k sebuah skalar, maka:
a)
0u
= 0
b)
K0
= 0
c)
(-1)u
= -u
d)
Jika
ku = 0, maka k = 0 atau u = 0
5.3 SUB-RUANG
Definisi
: Subhimpunan W dari sebuah ruang
vector V dinamakan subruang (subspace) V jika W itu sendiri adalah ruang vector
di bawah penambahan dan perkalian scalar yang didefinisikan pada V.
Teorema
4
Jika w adalah
himpunan dari satu atau lebih vector dari sebuah ruang vector V, maka w adalah
subruang dari V jika dan hanya jika
kondisi-kondisi berikut berlaku.
a)
Jika
u dan v adalah vector-vektor pada , maka u + v terletak di w
b)
Jika
k adalah sebarang scalar dan u adalah sebarang vector pada w, maka ku berada di
w.
Contoh
Perlihatkanlah bahwa himpunan W
dari semua matriks 2x2 yang mempunyai bilangan nol pada diagonal utamanya
adalah subruang dari ruang vector M22 dari semua matriks 2x2 .
Pemecahan. Misalkan

Adalah sebarang dua matriks pada
matriks pada W dan k adalah sebarang scalar. Maka

Oleh karena kA dan A + B
mempunyai bilangan nol diagonal utama, maka kA dan A + B terletak pada W. jadi,
W adalah subruang dari M22
Contoh
Tinjaulah vector-vektor u = (1,
2, -1) dan v = (6, 4, 2) di R3. Perlihatkan bahwa w = (9, 2, 7)
adalah kombinasi linear u dan v serta bahwa w’ = (4, -1, 8) bukanlah kombinasi
linear u dan v.
Pemecahan. Supaya w merupakan kombinasi linear u dan v,
harus ada scalar k1 dan k2 hingga w = k1 u + k2
v ; yakni (4,-1, 8)=k1(1, 2, -1)+k2(6, 4, 2)
Atau (9, 2, 7)=(k1 +
6k2, 2k1 + 4k2, -k1 + 2k2)
Dengan menyamakan komponen yang
bersesuaian memberikan
k1 + 6k2 = 4
2k1 + 4k2 = -1
-k1 + 2k2 = 8
System persamaan – persamaan ini
tidak konsisten. Sehingga tidak ada scalar-skalar seperti itu. Sebagai
konsekuensinya, maka w’ bukanlah kombinasi linear u dan v.
Definisi. Jika v1, v2,…,vr adalah vector – vector pada ruang vector V
dan jika masing – masing vector pada V dapat dinyatakan sebagai kombinasi
linear v1, v2,…,vr maka kita mengatakan bahwa vetor –
vector ini merentang V.
Contoh
Vector-vektor i = (1, 0, 0), j =
(0, 1, 0) dan k = (0, 0, 1) merentang R3 karena setiap vector (a, b,
c) pada R3 dapat kita tuliskan sebagai
(a, b, c) = ai + bj + ck
Yang merupakan kombinasi linear
I, j, dan k
Contoh
Tentukan apakah v1 =
(1, 1, 2), v2 = (1, 0, 1), dan v3 = (2, 1, 3) merentang R3.
Pemecahan. Kita harus menentukan
apakah sebarang vector b = (b1, b2, b3) pada R3
dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear
b = k1 v1 +
k2 v2 + k3 v3
dari vector – vector v1,
v2, v3. Dengan menyatakan persamaan ini dalam komponen –
komponen maka akan memberikan
(b1, b2, b3)
= k1 (1, 1, 2) + k2 (1, 0, 1) + k3 (2, 1, 3) atau
(b1, b2, b3)
= (k1 + k2 + 2 k3, k1 + k3, 2k1 + k2
+ 3k3
Dapat juga k1 + k2
+ 2 k3 = b1
k1 + k3 = b2
2k1 + k2
+ 3k3 = b3
Menurut bagian a dan bagian d
dari teorema 15, maka system ini akan konsisten untuk semua nilai b1,
b2, dan b3 jika dan hanya matriks koefisien – koefisien
dapat dibalik.
A =

Tetapi det (A) = 0, sehingga A
tidak dapat dibalik, dan sebagai konsekuensinya, maka v1, v2,
v3 tidak merentang R3.
Teorema
5. Jika v1,
v2,…,vr adalah vector-vektor pada ruang V, maka:
a)
Himpunan
W dari semua kombinasi linear v1, v2,…,vr
adalah subruang V.
b)
W
adalah subruang terkecil dari V yang mengandung
v1, v2,…,vr dalam arti bahwa setiap subruang lain dari V
yang mengandung v1, v2,…,vr harus mengandung
W.
5.4
KEBEBASAN LINIER
Definisi. Jika S =
adalah himpunan vector,
maka persamaan vector

k1 v1 + k2
v2 + … + kr vr = 0
mempunyai
paling sedikit satu pemecahan, yakni
K1 = 0, k2 = 0,….., kr = 0
Jika ini adalah satu-satunya
pemecahan, maka S kita namakan himpunan bebas linier (linearly independen).
Jika ada pemecahan lain, maka S kita namakan himpunan tak-bebas linier (linier dependent).
Contoh :
Himpunan
vector-vektor
, dimana v1= (2, -1, 0, 3), v2 = (1, 2, 5,
-1), dan v3 = (7, -1, 5, 8) adalah himpunan tak bebas linier, karena
3v1 + v2 – v3 = 0.

Contoh
:
Tinjaulah
vektor-vektor i = (1, 0, 0), j = (0, 1, 0) dan k = (0, 0, 1) pada R3.
Ruas komponen persamaan vector
K1 i + k2 j
+ k3 k = 0
K1(1, 0, 0) + k2(0,
1, 0) + k3(0, 0, 1) = 0
Jadi
, K1 = 0, k2 = 0 dan k3 = 0; sehingga himpunan
S = (i, j, k) bebas linier. Uraian serupa dapat digunakan untuk memperlihatkan
bahwa vector-vector e1 = (0, 0, 0, … , 1), e2 = (0, 1, 0,
0, …, 0), … ,en = (0, 0, 0, …,0) membentuk himpunan bebas linier
pada Rn.
![]() |
|
![]() |
Contoh interpretasi geometric dari
ketakbebasan linier dalam R2
![]() |
|||||||||
![]() |
|||||||||
![]() |
|||||||||
|
|||||||||
|
|||||||||
Gambar 4.6 (a) takbebas linier, (b) takbebas linier,
(C) bebas linier
Teorema
8. Misalkan
adalah himpunan
vector-vektor pada Rn jika r > n, maka S takbebas linier.

BAB III
PENUTUP
Saran
Alangkah
baiknya kita mengenal Matematika dulu sebelum kita menganggap Matematika itu
sulit, karena bila kita telah mengenal Matematika dengan baik dan menikmati
bagaimana Matematika itu bekerja
akan terasa bahwa Matematika itu tidaklah seburuk apa yang kita pikirkan.
Casino Gaming in San Francisco
BalasHapusCasino 부평바카라 Gaming is San Francisco's premier gaming golden star casino. 스포츠라이브스코어 Experience gaming, luxury 백 스트레이트 accommodations, dining and more at 힘숨찐챌린지 our lively, world-class CASINO GAMES: 450+